Jumat, 30 September 2011

Ungkapan Diary

Pagi itu tepat pukul 08.00 pagi.Seperti biasanya, pagi itu terselimuti oleh kabut yang tebal. Tak terdengar suara langkah pun kala itu.Aku memasang mata dari balik jendela.Jendela yang seolah mati mampu menjadi saksi bisu awal pertemuan kami. Pertemuan yang seolah tak pernah berakhir. Penantian yang seolah terjawab. Pengiring jiwa yang sepi kini telah datang.”kring...kring” terdengar sayub-sayub bunyi bel sepeda.”kring...kring”kini semakin jelas, dan seorang tiba-tiba muncul dari balik kabut lengkap dengan ontel butut yang bersedia mengikuti kemana langkah tuannya.
“permisi...”, dia mulai memanggil penghuni rumah ini. Dia menggoyang-goyangkan lonceng di atas pintu.“Permisi...per”suaranya terputus begitu tangan paman Muffin meraih gagang pintu lalu membukanya. Matanya memandang tajam.”ya, kamu cari siapa anak muda?”, tanya paman Muffin pada lelaki asing itu.Aku pun masih terus mengawasi percakapan ini. Tak kan kutinggalkan posisi strategis ku ini.
“benarkah ini kediaman Tn.Muffin?”, sebuah pertanyaan terlontar dari mulutnya. Aku tak tahu apa dia berusaha bermain tebak-tebakan atau dia pengantar surat atau mungkin paman Muffin menang lotere lalu, saat ini dia membawakan hadiahnya.Begitu saja pertanyaan tadi muncul dari benakku. Sedikit menggelitik.Tawaku dalam hati.
“ya, ini kediaman Tn.Muffin dan akulah Muffin”, jawab paman dengan artikulasi yang jelas dan nada yang tegas.Aku suka itu.Sungguh benar-benar sosok lelaki sejati.Lagi-lagi khayalan aneh dari otak seorang gadis yang beranjak dewasa datang begitu saja.”perkenalkan tuan, nama saya Richi Allegro saya diutus ayah untuk belajar ber...”lagi-lagi kata-katanya harus rela terpotong oleh paman Muffin.”oh, jadi kau putra Allegro ...hahaha aku senang bertemu denganmu nak, masuklah di luar sangat dingin.Akan ku buatkan secangkir coklat panas dan sepotong roti isi untukmu”, sahut paman yang nada bicaranya mulai enak.
“terima kasih tuan”kata lelaki itu dengan santun.”oh, jangan memanggilku seperti itu.Panggillah aku paman Muffin.Begitu lebih akrab”, jawab paman Muffin.”ya,pa...paman Muffin”, ucapnya yang terdengar canggung.Aku masih santai saja sambil terus mendengarkan percakapan mereka.Sebelum akhirnya aku bisa menatap untuk pertama kalinya wajah seorang ‘Richi Allegro’. “Cherry” panggil paman yang ingin memberikan titahnya.Aku buru-buru lenyap dari balik jendela dan segera menghampiri paman Muffin.”ada apa paman memanggilku”tanya ku yang siap menerima titah paman.”tolong ambilkan secangkir coklat panas dan sepotong roti isi!”perintah paman. ”segera paman”, sahutku.
Sambil berjalan ke arah dapur tak kuduga ternyata sorot mata ini tertarik ke arahnya.Tanpa kuduga dagunya terangkat dan sorot matanya pun terarah padaku. Kenapa nafasku terengah-engah, kenapa langkahku tersendat, tanganku gemetar, kenapa aku tak mampu menjawab pancaran sinar matanya dengan senyuman mesra. Aku galau setengah mati.Daguku menunduk malu.
Semuanya berakhir ketika aku sudah menginjak kawasan dapur. Aku segera mengantarkan pesanan paman. Setelah mengantarkan pesanan paman. Aku langsung mempercepat langkahku dihadapannya. Khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal konyol yang tak diinginkan.Aku memang sedikit bermasalah saat panik atau merasa khawatir yang berlebihan. Aku sempat opname di hari ulangtahunku yang ke enam.
Kronologis singkatnya, kedua orangtuaku memberikanku sureprized party.Mamaku berpura-pura pingsan di atas lantai. Saat itu aku benar-benar panik dan nekat melakukan hal konyol. Aku langsung menyiramkan segelas air putih ke muka mama. Mama langsung sadar dan tiba-tiba seluruh keluargaku berteriak dengan lantang“sureprized”.Mendengar itu, aku tak sadarkan diri selama dua hari. Mereka semua merasa bersalah padaku. Jujur di dalam hatiku aku menyesal sekali menyiram mama dengan segelas air putih berharap dia segera bangun. Lantaran tak kuat menahan diri, aku diopname di rumah sakit.
Sejak kejadian itu, mereka berjanji tak kan membuat hal buruk itu terjadi lagi. Sudah sebelas tahun terakhir aku tak pernah mendapat sureprized party. Mereka merayakan ulangtahunku dengan ritual tiup lilin lengkap dengan potong kue dan make a wish nya.Lalu ditutup dengan acara makan malam
Aku membuyarkan lamunanku.Berharap dia menatap ke arahku. Namun sepertinya ia asyik sekali mengobrol dengan paman Muffin.Sesaat ku dengar dari cara bicaranya dia sebaya denganku. Tapi ada apa dengan langkahku. Langkahku seolah terhenti. Aku penasaran sebenarnya siapa tuan bersepeda ontel yang kini duduk memegang roti isi saat ini. Tanpa pikir panjang aku segera mencari tempat menyelinap. Kuputuskan untuk bersembunyi di balik tirai merah hati di dekat pintu kamar. Kupasang telingaku baik-baik.
“jadi ayahmu sekarang sudah pulang dari Belanda? ”tanya paman.”benar paman.”jawabnya singkat. “kami dulu bersahat nak, ayahmu orang yang cerdas.ia meneruskan kuliahnya di Belanda jurusan teknik gula dan pangan.sedangkan paman tetap kuliah di sini jurusan pertanian.Kami dulu sangat akrab.Maaf, paman jadi bercerita”, celoteh paman.”tidak apa-apa, saya kemari ingin belajar banyak dengan paman tantang hal-hal yang berkaitan dengan dunia yang paman geluti sekarang ini”, ucapnya dengan santun.”tentu, paman siap dibutuhkan.hahaha.oh, ya kau tak sendiri. Keponakanku juga sama sepertimu. Ia hobi sekali berkebun.”ungkap paman. “kalau boleh tau, siapa dia?”.Tanpa banyak bicara paman kembali memanggilku.Aku pun datang menghadapnya. “dia keponakanku, Cherry”, jelas paman.”hai!”sapaku.”hai, aku Richi Allegro”, jawabnya dengan lembut.
Tangannya mengalun menjabat tanganku.Aku meresponnya. Hatiku bergetar kembali. Seperti ada yang menabuhnya. Apa sistem tubuhku mulai tidak normal. Apa aku butuh dokter? Tanyaku dalam hati dan tak ku temukan jawabnya.
Aku berlari menaiki anak tangga dan menggapai pintu kamar. Nafasku ngos-ngosan, tanganku berkeringat dingin. Tuhan...apa yang terjadi padaku. Pelan-pelan ku tarik nafasku ku hembuskan. Kulakukan berulang –ulang. Setelah normal, aku berusaha membuka memoriku tentang dia.
“Sosok Richi Allegro. Lelaki bertubuh jangkung, sedikit lebih tinggi dariku. Dengan busana rapi, mahal, namun tak menunjukkan glamorous. Kulitnya putih, hidungnya mancung. Tunggu.... “ nadaku seketika terhenti. “bagaimana dengan matanya, pancaran matanya yang penuh sinar menggoda tak mampu ku tatap”, lanjutku.”oh, tuhan ...”
Tak biasanya aku seperti ini ketika aku bertemu dengan lelaki sebayaku.Ini aneh. Mungkin terlallu cepat untukku menafsirkan bahwa mulai tumbuh rasa itu. Itu terlalu dini. “tidak mungkin”, elakku tegas. Aku masih terdiam dan tetap berdiam diri di balik selimut tebal.
Seorang pemuda yang santun, elok rupanya, tak diragukan pesonanya, pancaran sinar matanya, dipertemukan dengan seorang gadis periang, penyayang, cantik parasnya, cukup cerdas, namun manja.
Itulah awal pertemuan kami.  Seolah ini sudah diskenariokan oleh tuhan. Semuanya terjadi begitu saja. Berawal dari sebuah kebetulan yang tak terduga. Kita berdua tak pernah mengerti bagaimana alur yang direncanakan tuhan. Kami ikhlas menerimanya, tulus dan rela menjalaninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar