Jumat, 16 September 2011

Ramadhan Mengukir Realita

“Kring,kring.......”terdengar sayup-sayup bunyi jam wakerku di atas ranjang.Sirine bangun pagi mengahadapi mentari telah dibunyikan.Walaupun lebih tepatnya sang fajar yang lebih dulu terlihat.Tidak ada keraguan sedikitpun dalam hati untuk tetap memeluk guling merahku dan tetap berlindung di balik selimut tebalku.
“nak....bangun nak...sahur  nak”, teriak sesosok ibu-ibu paruh baya dengan suara lembut.Well, aku baru teringat kalau saat ini aku sedang mengikuti bagian dari agenda sekolah.Dengan meniru konsep unik yang diangkat dari reality show di salah satu channel televisi swasta “Jika Aku Menjadi”, semua seakan mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat.Well, acara pondok ramadhan yang diselenggarakan di sekolahku memang terkesan seru.Bayangkan saja, seluruh siswi di sekolahku diajak turun ke lapangan untuk menyaksikan sebuah realita kehidupan yang jauh dari metropolitan.Dengan berbekal informasi dari salah seorang temanku, tanpa ada keraguan yang terbesit dalam kalbuku aku siap maju ke medan jaya.
Aku langsung membuyarkan lamunanku.Seketika itu aku terbangun.Sejenak aku menguap dan tak lupa mengucek mata ini yang seakan sudah menjadi sebuah tradisi ‘bangun tidur’.Rupanya ibu yang membangunkan aku tadi mempunyai niat yang terbesit dalam kalbunya.Tak lain dan tak bukan agar aku segera ‘makan sahur’ .Maklum gadis remaja seusiaku memang lebih banyak menderita penyakit tidur berkepanjangan terutama saat sudah dihadapkan pada kenyataan bahwa aku harus memeluk erat guling merahku dan segera berlindung di balik selimutku yang cukup tebal.Udara di sini benar-benar dingin.Tidak ada alasan lain selain karena letaknya di kaki gunung.
Well, desa yang diberi julukan desa Sumber Sekar, Precet kecamatan Dau kabupaten Malang inilah yang saat ini menjadi tempat singgahku. Untuk bisa sampai di desa ini saja memerlukan waktu yag lama, belum lagi medan yang harus kulalui untuk bisa menjamah desa ini juga cukup sulit.Jalan menanjak, terjal dan diapit oleh hutan Jati sudah menjadi pemandangan yang lazim disaksikan. Tapi, inilah yang menjadi daya tarik tersendiri dari desa ini.
Ingatanku kembali lagi ke alam sadarku.”Rum...bangun”suara temanku Rina yang berupaya keras membangunkanku dan kawan-kawan lainnya.”ya, bentar lagi”sahutku.
Di sini aku tak sendiri tapi, aku tinggal bersama empat orang temanku.Mereka adalah Icha sebagai leader di antara kami, Inchi , Sofi , dan Rina.Kami tinggal di rumah bapak Atim dan ibu Sari, salah seorang warga dusun ini.Mereka sangat antusias menyambut kami.Walaupun bu Sari terlihat agak canggung terhadap kami.Menurut prediksi ku beliau canggung karena dua faktor ; pertama, karena beliau menganggap kami ini segerombolan anak kota yang tidak mungkin sanggup mengerjakan profesi mereka. Kedua, beliau sangat canggung dalam hal berkomunikasi karena belum menguasai bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Aku dan teman-temanku memaklumi hal itu.Untung saja aku ini ditakdirkan menjadi anak Jawa tulen yang notabene sangat menguasai bahasa mereka.Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jawa halus atau istilah sakralnya ‘Krama alus’.Dengan intonasi dan artikulasi yang telah terlatih aku dan teman-teman berusaha berkomunikasi dengan beliau.Tak jarang masih ada sepatah dua patah kata yang ‘keceplosan’menggunakan bahasa Indonesia tak sengaja keluar dari mulut kami.Namun, untung saja hal itu tak membuat keadaan menjadi rumit.
Sebelum aku kembali ke alam sadarku, aku ingin sedikit mengulas tentang orang tua asuhku ini.Pak Atim berprofesi sebagai pemerah susu sapi.Sedangkan bu Sari istrinya menjadi ibu rumah tangga.Namun, bu Sari tidak berpangku tangan saja di rumah.Ia memiliki aktifitas tersendiri yakni ‘memetik kopi’.Meski, tergolong keluarga sederhana namun mereka bahagia.Dalam pernikahan mereka, mereka sudah dikaruniai tiga orang anak.Dua anak perempuan yang sudah berkeluarga dan satu anak laki-laki yang masih lajang. Berkat kesabaran dan keuletan mereka, saat ini mereka telah memiliki tiga ekor sapi betina, satu sapi jantan,satu anak sapi, dan beberapa kambing.
“Rum......bangun Rum sahur”suara sesosok gadis memanggilku kembali.Kini aku harus benar-benar kembali ke alam sadarku dan segera makan sahur sebelum imsak mendahuluinya.
Ku lipat selimutku lalu, bergegas menuju meja makan yang telah terhidang aneka makanan yang siap untuk menempati lahan barunya’perut kami’.Satu persatu di antara kami antre mengambil nasi, lauk pauk dan sayuran.Kini giliranku.”Eh, kamu kalau makan banyak juga ya ” sahut Icha.”ya, dia ini memang jiwa kuli”giliran Sofi meledekku.Well, tubuhku memang tidak terlalu besar untuk ukuran anak sebayaku tapi, untuk urusan makan porsiku memang tak sedikit.
Saatnya imsak.
Buru-buru aku dan teman-teman mengambil air wudlu.Ku basuh sesuai urutan syari’at Islam.Setelah semuanya beres kami segera menuju ke surau di dekat rumah. Di surau kami bertemu teman -teman kami yang lain. Kami melakukan salat Subuh berjama’ah dan mendengarkan kultum. Saat mendengarkan kultum tak jarang di antara kami tengkurap seperti kura-kura.Bukan adegan akrobatik atau ingin buang angin tapi, malah hendak memejamkan mata lagi untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda.Memang sungguh lihai dalam hal ini setan memanfaatkan kesempatan untuk menggoda kami anak Adam.
Pulang ke rumah masing-masing.....
Setelah mengucap salam kami segera ke kamar untuk ganti baju PSK (Pakaian Siap Kotor).Tiba-tiba Sofi mengomando kami untuk segera menjalankan misi.”eh, Rum kamu yang cuci piring ya, aku sama Rina yang nyapu, Icha sama Inchi yang beres-beres”.”Siap laksanakan”, serentak kami menjawab.
Setelah bersih-bersih selesai, aku sempat menengok jam dinding dan waktu itu menunjukkan pukul 06.00 yang artinya bapak sedang di kandang memerah susu sapi.Karena kami ingin melihat prosesnya kami ikut ke kandang.
Di kandang sapi.......
“pak lanopo pak”(bahasa Jawa yang artinya sedang apa).Bapak menyahut “meres susu, maringene terno nang pos yo nduk...”(arti : merah susu , setelah ini antarkan ke pos ya... )”oh, inggeh pak”sahut kami.
Melihat bapak sedang asyik memerah susu aku jadi ingin mencoba.Dengan penuh kepercayaan diri aku berusaha melawan rasa takutku.Alhasil aku berhasi memerah susu”horeeeee”, teriakku dalam hati.Melihat keberhasilanku, teman-temanku jadi ingin ikut mencoba.Tak jarang fenomena sapi buang  kotoran tiba-tiba membuatku tertawa geli.Soal aroma tak sedap yang tersedia di kandang tidak diragukan lagi kebenarannya.Tapi, niat yang sungguh-sungguh untuk membantu bapak tak pernah menyurutkan semangatku dan teman-temanku.
Setelah susu selesai di peras susu tersebut dimasukkan ke dalam tangki dan ditutup rapat lalu baru diantar ke pos .Satu tangki penuh bisa terisi hingga 18 liter.Harga yang dipatok untuk satu liter susu Rp3200,00.Pos susu sapi didusun ini ada dua, yakni pos Sengkaling dan pos Batu.Kebetulan bapak kebagian di pos Batu yang jaraknya cukup jauh dari rumah.Dengan menggabungkan seluruh kekuatan yang kami miliki kami tiba di pos susu dengan selamat.
Aktifitas ini bapak lakukan dua kali sehari yakni, pagi dan sore.Sapi-sapi milik bapak ini diberi makan daun tebu karena sedang musim kemarau.Jumlah produksi susu sapi antara pagi dan siang juga berbeda. Di kala pagi susu yang dihasilkan bisa mencapai 35 liter namun di kala sore hanya mencapai 15 liter.Bapak juga bilang kalau sapi-sapi ini tiba-tiba sakit kita tak perlu khawatir.Karena KUD setempat sudah menyediakan dokter khusus hewan yang akan menangani keluhan – keluhan yang diderita si sapi.Bapak juga tak perlu mengeluarkan biaya untuk pengobatan sapi.
Setelah mengantar susu kami segera dihadapkan oleh aktifitas lain yakni ‘memetik kopi’. “pasti menyenangakan”, kataku dalam kalbu. “kajenge metik kopi ten pundi bu?”(arti:mau memetik kopi dimana?)kata Icha.”ndek kono loh, engkok tak dudui”(arti:di sana nanti saya tunjukkan), jawab ibu.”tapi engkok rusuh, gak opo-opo ?”(arti:tapi nanti bisa kotor memang gak apa-apa?)tanya ibu yang merasa canggung.Dengan lantang kami menjawab, “mboten nopo-nopo”(arti:gak apa-apa).Setelah semua peralatan disiapkan kami langsung menelusuri jejak ibu untuk sampai ke kebun kopi.
Pergi ke kebun kopi...
Setelah sampai di kebun, kami telah menemukan pohon kopi yang akan kami jadikan sasaran empuk pesta panen.Kami beranjak memetik buah kopi dan meletakkannya ke kaleng.Tak jarang buah kopi yang kami petik meleset dan jatuh ke tanah lalu kami punguti satu per satu.Tak jarang sambil memetik buah kopi, kami berlima berceloteh ria.Ibu juga turut serta dalam hal ini.Setelah mentari mulai meninggi dan rupanya buah kopi yang kami petik sudah memenuhi karung akhirnya kami semua pulang.
Tak terasa hari demi hari kami lewati di rumah ini dengan penuh kegembiraan dan kami bumbui dengan canda tawa ala anak muda.Akhirnya, kami harus pamit undur diri.
Terakhir sebelum kami pulang.Kami sempat memeberikan tali asih untuk mereka .Semoga tali asih yang telah kami berikan bermanfaat untuk mereka serta mampu merekatkan persaudaraan atau istilah Jawanya “paseduluran”di antara kami.Aku dan teman-teman pamit pulang. Ternyata, ibu dan bapak sudah menyiapkan oleh-oleh yang akan kami bawa pulang.Beberapa batang tebu dan sebotol susu terasa kurang afdhol bila tak diikutsertakan.”sepurane sing akeh yo lek ibu akeh salah”, ungkapan maaf dari ibu rupanya mampu menggenangi pelupuk mata ini.”kami juga begitu bu, pak”, ungkap ku dan teman-teman.

Terbesit sejenak dalam kalbuku perasaan bangga karena ungkapan ‘Jika Aku Menjadi’ bukan omong kosong atau isapan jempol belaka tapi ungkapan itu seolah-olah hadir dalam realita hidupku,  mampu menembus dadaku,meresap ke dalam ulu hatiku, dan meninggalkan kesan yang begitu mendalam yang tak mampu dijabarkan.
Inilah kisah Ramadhan ku yang bisa terwakilkan oleh ukiran tinta hitam ini.Buatku yang terpenting bukanlah keestetikaan bahasanya namun isi dan pesan yang dapat merasuk sampai ke lubuk hati hingga pada akhirnya mampu diaplikasikan ke dalam hidup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar